Kamis, 10 Mei 2012

10 Detik Yang Takan Mungkin Kembali

Ku harap ini mimpi yang terlahir dari tidur panjang penuh lelap dengan kehangatan yang diselimuti gelap, mengantarkanku ke dunia malamku yang akan kutapaki. Ke dunia mayaku. Memang harap tak kunjung tiba. Hanya asa yang bergelanyut manja menanti. Entah sampai kapan. Kuharap ini sebuah mimpi dan atau sebuah dongeng dan cerita yang terlantun dari bibir penuh irama kasih. Tak sanggup kukayuh roda kehidupan ini menuju pelabuhan yang abadi. Entah aku resah, takut, lelah dengan drama kehidupan ini.
Sungguh aku lelah.
                Kau, dengan sentuhan jemari lembutmu yang pernah membelai rambut indahku, membelai penuh mesra, memberikan suapan terlezat yang pernah masuk kedalam tubuhku. Kau, yang penuh keikhlasan memberikan hari-hari yang istimewa dengan pelangi sejuta warna yang menghiasi memori masa kecilku, kau dengan semua  pengorbananmu yang pernah menjaga dan memelihara dari kegetiran dan segala macam bahaya yang menghampiriku. Kau, bunga tidurku. Kau, segalanya.
            Tapi, ku kira kau telah melupakanku, telah menduakanku. Ketika itu, sepeninggal sosok seorang ayah kandungku yang rela mengorbankan tulang punggungnya, mencucurkan keringat panasnya, menjadikan harinya penuh kelelahan demi sesuap nasi untukku dan kau. Kau lebih memilih dia. Lelaki yang tak kusukai. Kau tahu, aku sangat membencinya. Aku tidak mau dia menggantikannya. Tidak, kau tak mengeri. Aku tak ingin kasihmu terbagi. Cukup, hanya untukku seorang. Tapi dia telah merampasmu dariku. Bagaimana aku tidak marah ? aku hanya ingin engkau menjadi milikku seorang, ibu...
            Tidak ada yang bisa merubah tekad kuatku, ini keputusanku. Jarum jam yang terus merayap, seolah memutar kembali kenangan indah itu. Tapi sebelum fajar menyingsing, sebelum ayam pagi berkokok, aku harus sudah pergi dari sini. Maapkan aku, bukankah itu maumu ?
**********
            “kemana.... kemana.... kemana ... anakku.. dimana kamu sayang.. dimana ..hihihihihhhii anakku”
Wanita tua itu terus saja memekikkan suaranya.berjalan gontai tak tentu arah dan terus berjalan tanpa henti. Geraian rambut hitamnya yang kusut dan semrawut, wajahnya yang kusam entah berlumuran dengan tanah atau kotoran. Bajunya yang lusuh penuh robekan kecil yang menempel, mungkin hanya baju itu yang setia dikenakan ditubuhnya
            Berpuluh kilo jalan yang telah ia lewati, berharap menemukan jejak yang tertinggal, tekad yang teguh tetap ia pegang erat, teguh dengan genggamannya pada kantung plastik berwarna hitam kusut yang entah apa isinya. Sedang tangan kirinya yang setia memeluk erat boneka panda kecil yang sebenarnya lucu dan bersih, Andai tidak usang dan kucel.
            Sekelompok anak kecil yang sedang bermain di halaman rumah tiba tiba berarak keluar gang dan melemparinya dengan kerikil kecil. Ia tak membalas. Meringkuk sembari memeluk boneka dan plastik hitam yang kusam, ia hanya melakukan itu, tak cukup rupanya, anak-anak itu malas mengerumuni dan meneriakinya. “orang gilaaaa.... orang gilaaaaaa...ooorang gilaaa..”
            Ia ketakutan, tubuhnya menggigil dengan teriakan itu, dipandanginya deretan anak kecil itu, dan pandangannya tertuju pada gadis kecil yang memakai gaun merah yang dipercantik dengan kuciran bawang yang lucu dan manis, lalu ia tersenyum, “anakku ? anakkuu... hihihhi anakku.. Nana ... ayo sini ini mama ... hihhiiihii”
            Tawa kecil anak-anak itu seketika terhenti manakala wanita itu berdiri dan berusaha mendekati gadis kecil itu. Mereka berhamburan ke jalanan meninggalkan sang gadis kecil ditempat wanita tua itu. Wanita tua itu terus mendekatinya, ingin rasanya ia memeluk, menggendong dan mengecup kedua pipi manisnya itu. Ia rindu.. rindu pada anak anaknya .. kuncir rambutnya dan gaun merah yang ia kenakan mengingatkan pada memori indah tentang buah hatinya, ia berharap, sangat berharap yang ada dihadapannya adalah anak kandungnya.
            “Nana ? Nana anak mama.. Nana, mama cali kemana-mana kok Nana ada disini ? ini mama Na, hihhhhii” tanyanya penuh harap. Suaranya benar-benar lirih. Gadis kecil itu masih saja berdiri dihadapan wanita tua itu, namun ketika tangan wanita tua hampir menyentuh pipi manisnya tangisan gadis kecil itu menggelegar keras, tpi ia tetap saja berdiri disitu.
            “Nana kenapa menangis  ? ini mama Na, cini ikut sama mama...” dihapusnya air mata pipi sang gadis kecil dengan penuh kasih. Lalu ia tersenyum. Tapisenyumnya kembali terhenti manakala kulit kusamnya terkena lemparan batu lagi. Kali ini bukan main-main, rupanya ibu-ibu dihadapannya menatapnya dengan geram dan mata yang membulat penuh amarah dan segera menarik tangan gadis kecil dari hadapannya. “heh ! orang gila ! pergi sana! Kamu apain anak saya ? pergi kamu !!!!”
“Anakku... anakku .. jangan ambil anakkuuuuuuu ...” ia berteriak histeris dengan kepergian gadis kecil itu. Entah mengapa ia merasa hatinya kosong. Batinnya tercabik. Air mata itu tak sanggup lagi dibendungnya. Boneka dan bungkusan kantung plastik hitam itu terus di dekapnya membuat noda kembali tercipta dibadan boneka itu.” Ia berlari mengejar ibu yang membawa gadis kecil tadi, seolah tak pedulikan suara keras klakson-klakson mobil yang berlalu lalang dihadapannya. Ia terus berlari berusaha mendapatkan belahan hatinya dan darah dagingnya yag hilang. Na’as sebuah mobil bak terbuka yang melaju sangat kencang menghentikan langkahnya...
*******

Aku tersekat lalu terdiam membisu memandang hujan yang gagah, basah dan manis turun dengan derasnya. memaksa sang mentari untuk tenggelam dalam terangnya. Deraian air mata ini rasanya juga terus menderai mengalir menganak sungai seiring rintik itu berlabuh di atas tanah yang mulanya kering. Membasahi hati yang teriris luka. Perih begitu sakit.. perlahan kupejamkan mataku, tapi air mata ini tak kunjung jua berhenti. Kenangan-kenangan bisu itu terus saja berputar bak jarum jam yang tak henti merayap mengitari waktu yang terus bejalan. Tak bisa ku hentikan. Ngin ku kutuk diri ini. Karna keegoisanku.
            Kembali kubuka mataku memandang sebuah gaun merah yang ku keanakan dengan sebuah boneka panda yang kini kudekap peuh erat. Memandangi sebuah gundukan tanah merah itu. Mengapa seakan tuhan tak pernah adil kepadaku ? eolah ia tak memberikan kesempatan kedua untukku. Beribu maaf dan sesal berkutat dihati ini.
“Ma, terimakasih atas semuanya. Nana tah, mungkin sulit untuk mama memaafkan anak yang durhaka ini. Tak pantas memang Nana ada disini. Tapi Nana yakin kesucin, keikhlasan dan keteguhan hati mama untuk mencari Nana selama ini tak pernah pudar. Ma, Nana mohon maafin Nana, Nana tidak bermaksud untuk membunuh mama. Ma, andai mama bisa membuka mata mama kembali,           Nana akan memberikan apapun untuk mama. Ma, anadai mama bisa membuka mata mama walau hanya 10 detik, Nana ingin mama melihat Nana mengenakan baju dari mama ini. Baju merah kesukaan Nana. Hati mama terlalu tulus untuk Nana, hingga saat terakhir mama, mama masih saja mencari Nana anak yang durhaka ini hanya untuk memberikan gaun kesukaannya yang dirajut dengan segala rasa,harapan dan air mata. Maafin Nana maaa...”
            Hujan akhirnya berhenti. Seolah menyuruh tanguisan ini diam. Mengantarkan seorang ibu dengan jiwa malaikat dipeluk bumi dengan irisan tangis penyesalan sang belahan jiwa yang selama ini dicarinya entah kemana...

1 komentar: